Chris Smalling: Dari “LOL” ke “Leader” – Evolusi Bek Inggris yang Disangka Gak Bisa Main

Jujur aja, kalau kamu ngikutin Premier League era 2010-an, nama Chris Smalling pasti pernah bikin kamu geleng-geleng. Entah karena kesalahan passing absurd, posisi ngawur, atau ekspresi muka panik saat duel udara. Bahkan, fans MU sempat gantiin nama dia jadi “Calamity Chris”.

Tapi siapa sangka—beberapa tahun kemudian, Smalling malah jadi salah satu bek terbaik Serie A, dijuluki “Smalldini” oleh fans AS Roma, dan buktiin ke semua orang bahwa dia gak pantas dicap sebagai lelucon. Ceritanya bukan cuma soal sepak bola—tapi soal resilience, evolusi, dan buktiin diri tanpa banyak bacot.


Awal Karier: From Non-League to Premier League

Smalling bukan produk akademi fancy. Dia mulai dari bawah banget—main di Maidstone United, klub amatir di Inggris. Dari sana, dia dilirik Fulham tahun 2008. Gak banyak ekspektasi. Tapi dia cepet banget adaptasi karena:

  • Posturnya tinggi banget (1,94 m)
  • Jangkauan tekel panjang
  • Tenaga besar, cocok buat duel fisik

Sir Alex Ferguson ngelirik dia, dan tahun 2010, Manchester United resmi boyong Chris Smalling.

Masalahnya? Smalling datang ke klub sebesar MU dengan skill set yang masih mentah. Dan dari sinilah cerita “trial by fire” dimulai.


Manchester United: Belajar di Tengah Chaos

Smalling masuk di era transisi MU. Dia sempat main bareng Rio Ferdinand dan Nemanja Vidić, tapi gak sempat “belajar cukup lama” dari mereka karena duo legend itu udah mendekati pensiun.

Di sisi lain:

  • MU ganti pelatih terus (Moyes, van Gaal, Mourinho, Solskjær)
  • Gaya main tim gak stabil
  • Fans jadi gampang frustasi karena lini belakang sering berantakan

Dan ya, Smalling jadi korban publik. Kadang dia tampil luar biasa, kayak waktu duet sama Phil Jones atau Daley Blind. Tapi di momen lain, dia bisa bikin blunder aneh yang langsung viral.

Orang jadi stuck sama narasi:
“Smalling itu bek yang gak ngerti positioning. Sering panik. Cuma bisa tanduk bola doang.”

Padahal, kalau lo liat data dan pertandingan lebih dalam, dia sebenarnya punya banyak potensi:

  • Tackling bersih
  • Dominan di udara
  • Disiplin marking saat lawan striker gede

Masalahnya: dia gak cocok main dalam sistem yang nuntut build-up dari bawah dan garis tinggi—sesuatu yang jadi tren di Premier League pasca-2015.


Momen-Momen Campur Aduk di MU

Hal paling ironis? Smalling sempat jadi kapten MU, bahkan cetak gol di laga penting—kayak comeback 3-2 lawan City di 2018. Tapi di sisi lain, dia juga sering dicengin karena salah umpan, bikin penalti konyol, atau overcommit dalam duel.

Jose Mourinho, meskipun sempat muji dia, juga bilang:

“Saya butuh bek yang bisa main dengan rasa sakit. Chris kadang terlalu ‘rapuh’.”

Ya, walau unfair, komentar kayak gini makin ngebentuk image negatif soal Smalling di mata fans Inggris.


Transfer ke AS Roma: Turning Point Segalanya

Tahun 2019, Smalling dipinjamkan ke AS Roma. Reaksi orang waktu itu?
“Yah, akhirnya dijual juga. Udah waktunya.”

Tapi apa yang terjadi justru plot twist total. Di Serie A, Smalling langsung klik. Dalam sistem pertahanan yang lebih terstruktur dan gak nuntut bek buat terlalu kreatif, kemampuan pure defending-nya muncul semua.

Di Roma, Smalling:

  • Bikin 90% duel udara dimenangi
  • Jadi pemimpin lini belakang
  • Jago banget dalam posisi 1 lawan 1
  • Ngebaca permainan dengan lebih tenang

Fans Roma langsung jatuh cinta. Bukan cuma karena performanya, tapi karena sikapnya yang low profile dan profesional.


“Smalldini”: Julukan yang Awalnya Candaan, Jadi Beneran

Fans Roma awalnya manggil dia “Smalldini” sebagai sarkasme. Tapi lama-lama, itu berubah jadi respek. Gaya main dia memang makin mirip bek Italia klasik: tegas, disiplin, dan gak neko-neko.

Bahkan pelatih-pelatih Serie A kayak Gasperini dan Pioli sempat puji Smalling sebagai “salah satu bek tersolid di liga.”

Jadi ya, dari meme Premier League, Smalling menjelma jadi pilar utama pertahanan klub besar Eropa.


Jadi Kunci di Era Mourinho Lagi

Ironis banget, kan? Smalling sempat dikritik habis-habisan Mourinho di MU, tapi akhirnya malah jadi bek kepercayaan Mou di Roma.

Waktu Mourinho datang ke Olimpico, dia langsung bilang:

“Smalling adalah pemain yang sudah saya kenal, dan dia akan jadi bagian penting tim ini.”

Dan bener aja. Di musim 2021/22, Smalling bantu Roma juara UEFA Conference League, trofi Eropa pertama mereka sejak 1961. Dia tampil solid di final, mimpin pertahanan, dan bahkan masuk Team of the Season versi UEFA.


Timnas Inggris: Nasib yang Gak Seindah Klub

Satu hal yang bikin karier Smalling agak bittersweet: dia gak pernah benar-benar diakui di timnas. Padahal:

  • Dia pernah main di Piala Dunia 2014
  • Jadi starter di EURO 2016
  • Konsisten di klub, terutama di era Roma

Tapi sejak Gareth Southgate jadi pelatih, Smalling tersingkir. Southgate lebih suka bek yang jago passing dari belakang kayak Stones, Maguire, atau Guehi.

Walau begitu, Smalling sendiri gak pernah bawa drama. Dia tetep fokus di klub, dan performanya di Serie A jadi pembuktian diam-diam bahwa dia masih elite.


Gaya Main: Bek “Old School” dengan Sentuhan Modern

Smalling bukan tipe bek fancy. Dia bukan yang suka show off dribbling atau build-up kayak Laporte. Tapi justru itu kekuatannya.

Kelebihan:

  • Duel udara solid banget
  • Timing tackle oke
  • Body-to-body kuat
  • Punya kecepatan recovery yang underrated

Kekurangan:

  • Build-up terbatas
  • Kadang terlalu pasif dalam press tinggi
  • Gak cocok kalau diminta jadi bek progresif

Tapi kalau tim kamu main deep block dan butuh “tembok manusia”? Smalling jawabannya.


Off the Pitch: Vegan, Aktivis, Family Man

Di luar lapangan, Smalling juga beda. Dia vegan, aktif kampanye soal lingkungan, dan sering terlibat dalam proyek sosial—termasuk kampanye anti-rasisme di Italia.

Dia juga gak suka spotlight. Gak banyak drama, gak suka tampil glamor. Waktu diwawancara soal perubahan kariernya, dia cuma bilang:

“Saya cuma butuh lingkungan yang percaya sama saya.”

Dan Roma kasih itu ke dia.


Penutup: Dari “Tumbal” Jadi Titik Tumpu

Chris Smalling adalah contoh nyata bahwa pemain itu bisa berubah. Gak semua kritik itu benar. Dan kadang, lo cuma butuh satu sistem, satu pelatih, dan satu kota yang percaya.

Dulu dia dibilang bukan level MU. Sekarang dia jadi legenda baru di Roma.

Dulu dia dianggap cuma bisa “clear bola doang.” Sekarang dia buktiin bahwa defending itu seni—dan dia peluk itu dengan tenang.

Smalling itu bukan cerita soal keajaiban. Ini cerita soal adaptasi, kerja keras, dan pembuktian diam-diam. Dan ya, dia gak butuh viral buat buktiin dirinya. Cukup main bagus tiap minggu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *